Olin menyeka peluh yang meleleh di atas alisnya, sesekali memijat tangan
dan kakinya. Sebentar lagi akan ada kejuaraan taekwondo antar SMA dan Olin
terpilih untuk mewakili sekolahnya. Jadi, latihan ekstra ia lakoni. Olin
berjanji pada dirinya, akan melakukan yang terbaik agar hasil yang ia peroleh
juga baik dan dapat mengharumkan nama sekolahnya. Olin menerawang ke depan.
Rumah bercat hijau tosca di hadapannya sepi. Tiba-tiba ingatannya seperti
terbang. Insiden itu kembali mengusik sisi otak Olin. Ya, pertengkaran dirinya
dengan sang sahabat, Lia. Apa aku yang salah, ya? Apa aku harus minta maaf?
Batin Olin bergejolak.
“Huh, buat apa minta maaf! Dia saja
yang nggak mau ngaku kalau dirinya itu Peri Alpabet. Sok polos! Apa sih,
susahnya ngaku! Aku juga nggak akan minta apa-apa dari dia!” sontak kata-kata
itu keluar dari bibirnya. Hening. Memintal-mintal ujung jilbab putihnya.
Sejujurnya Olin masih bingung, harus percaya pada pengakuan Cecilia bahwa
dirinya bukan Peri Alpabet atau percaya pada apa yang ia lihat di rumah Cecilia.
***
Olin, si cewek jagoan taekwondo yang
juga bercita-cita menjadi penulis cerpen anak. Aneh, kenapa harus cerpen anak?
Simpel! Masa anak-anak menurut Olin adalah masa terindah. Hanya ada bermain dan
bersenang-senang. Tanpa beban, bebas, jujur. Olin suka semua itu. Kembali ke
rumah Cecilia. Suatu hari ketika Olin diundang sahabatnya, Cecilia, untuk ke
rumah dalam rangka perayaan imlek, Olin setuju. Saat itu ia sedang
gencar-gencarnya mencari tahu tentang Peri Alpabet, nama pena dari penulis
cerpen anak yang ia kagumi. Dari sebuah cerpen anak, ia tahu bahwa Peri Alpabet
itu bersekolah di tempat Olin dan satu kelas dengannya. Sayang, tak ada satu pun
cerpen anak karyanya yang pernah Olin lihat memuat nama aslinya, semua cuma menuliskan
nama pena.
Ambisi Olin menemukan Peri Alpabet
tambah membara, sampai ia melihat ada beberapa buah cerpen anak terbingkai manis
di dinding rumah Cecilia. Dan kalian tahu penulisnya? Yups, Peri Alpabet!
Kesimpulan Olin, Cecilia adalah Peri Alpabet dan buktinya sudah jelas, ia
membingkai cerpen bukti terbit karyanya. Ditambah kesukaannya dengan film
kartun, Olin yakin 1000 persen bahwa sahabatnya itu adalah penulis idolanya.
Tapi … ketika ditanya langsung, Cecilia terus mengelak dan membantah. Sampai
amarah Olin memuncak dan ia pergi begitu saja dari rumah Cecilia. Selanjutnya,
sikap Olin jadi sedingin kutub utara dan selatan kepada Cecilia. Sahabat Olin
yang lain, Kristin, sudah menasihatinya. Tetapi kepala batu karang itu tak
bergeming. Lama kedua sahabat itu tak saling bertegur sapa. Cuma Kristin yang
kebingungan harus berbuat apa pada kedua sahabatnya.
***
Sore itu, Olin tengah bersantai di
teras. Setelah membaca buku berjudul Sakitnya,
Tuh, Jatuh dari Sepeda terbitan Kaifa dan puas wifian pakai modem Smartfren
4G Lte, Olin mengamati majalah anak di hadapannya. Bibirnya mengerucut.
Sebentar-sebentar ia balik majalah itu. Ah, seperti tak ada penulis lain saja!
Runtuknya. Kemudian ia melirik lagi ke halaman cerpen anak di majalah itu
seraya mengamati nama yang tercetak di bawah judul karya fiksi itu. Helaan
napas panjang. Lagi-lagi Peri Alpabet!
“Beneran, Kris, gue bukan Peri
Alpabet! Adik gue emang suka karya Peri Alpabet, makannya sampai dipajang dan
dibingkai. suer ditimpa sumpit deh!” sayup-sayup Olin mendengar suara
seseorang. Ada langkah kaki mendekat. Olin langsung beranjak dari duduk dan
menyelinap ke ruang tamu.
“Kalo gitu, coba lo jelaskan lagi ke
Olin. Lo harus yakinin dia bahwa lo bukan Peri Alpabet. Kalau kalian begini
terus, gue bisa migrain tiap hari tau nggak!” Kristin memijat-mijat kepalanya,
berlagak pusing.
“Ok … tapi jangan sekarang, ya. Gue
bakal cari cara untuk meyakinkan dia. Janji!” Cecilia mengacungkan jari tengah
dan telunjuknya.
“Ya … ya, percaya! Mikirnya pake
ekspres ya, jangan lama-lama, Lia.”
“Iyaa … miss kantong segudang!”
Cecilia pun menjawil dagu lancip Kristin dan berlalu.
Kantong belanjaan penuh di tangan
kanan dan kirinya. Kristin pun langsung masuk ke kamar Olin yang beberapa minggu
ini ia tumpangi. Biasa, Ayah dan Ibu Kristin ada bisnis di luar kota. Karena
itu Kristin memilih tinggal sementara di rumah Olin. Pertama, rumah Olin tak
jauh dari sekolah dan alasan kedua, ia akan leluasa untuk menemui sahabat-sahabatnya.
Kalau mau bertemu Cecilia tinggal menyeberang saja, sudah sampai. Saking banyak
belanjaan Kristin, ia sampai tak hirau pada Olin yang ada di ruang tamu. Olin
pun terngiang kata-kata Cecilia tadi. Kalau Cecilia bukan Peri Alpabet, maka ia
bertekad untuk mencari tahu Peri Alpabet yang sebenarnya. Wajib tahu.
***
“Maafin sikap gue, ya, Lia. Gue
sekarang percaya kalo lo benar-benar bukan Peri Alpabet,” ucap Olin suatu
ketika tepat jam istirahat pertama.
Cecilia mencubit pipi tembamnya, “Ya,
sobatku. Sekarang lebih baik lo pikirin kejuaraan taekwondo daripada pusing
dengan Peri Alpabet yang nggak jelas itu.”
“Kalau taekwondo, gue terus latihan
serius, kok. Tapi … gue tetep pengen tahu si Peri Alpabet itu. Hampir tiap
minggu ada karyanya yang muncul di media anak. Guee ….”
“Iri? Atau Sirik?” timpal Kristin.
“Dua-duanya!” Olin melotot.
Sejak hari itu, mata Olin berubah
jadi setajam silet. Ia benar-benar memperhatikan dan mencari tahu segala hal
tentang semua teman sekelasnya. Berhari-hari Olin jadi detektif amatir dadakan.
Dan ini beberapa catatan Olin. Pertama Boy, ketua kelas XI IPA 3 yang suka
menulis, punya nama pena Dandelion Man. Teman lainnya tak ada yang hobi menulis
dan menonjol di bidang jurnalistik. Cecilia sudah lepas pengawasan. Kristin?
Apalagi sahabatnya itu. Hanya bisa menyisir rambut ikalnya, dandan, dan berbelanja.
Olin termenung, bertopang dagu.
“Mikirin apa, Lin?” Kristin langsung
duduk di sisi kiri Olin.
“Peri Alpabet,” balasnya singkat.
“Ya, ampun, masih mikirin itu? Udah,
lupain deh! Nih, es krim kesukaan lo,” Kristin menyodorkan es krim stroberi
vanilla ke depan wajah Olin.
Olin menampik,”Peri Alpabet itu
penting, tau! Gue suka taekwondo dan nulis. Giliran taekwondo lancar, tulisan
gue mampet! Gue mau keduanya seimbang. Jago taekwondo dan jenius nulis cerpen
anak!” Olin menggebu, seolah ada bara api di matanya.
“Ok … santai, sobat. Tulisan lo
mampet mungkin karena lo kurang latihan nulis, atau kurang referensi bacaan.
Coba lo inget-inget, ada berapa buku di rak lo. Kayaknya selain buku pelajaran,
cuma ada 5 biji buku fiksi deh. Fiksi anak malah nggak ada hehe …. Gimana bisa
jadi penulis cerpen anak yang handal kalo nggak punya banyak referensi bacaan
anak-anak?” alis Kristin naik turun.
Olin memerah, wajahnya seperti baru
kena siram sambal tomat. Benar apa yang Kristin katakan. Aduh, malunya Olin.
Kenapa juga ia membiarkan Kristin sekamar dengannya? Uhh … kan, masih ada kamar
tamu. Membuat Kristin tahu semua kelemahan Olin saja.
“Aduh, kebelet pipis, nih, mumpung
belum bel masuk. Gue ke toilet dulu, ya,” Kristin langsung berlari secepat
kilat.
Selang beberapa menit, seseorang
menghampiri Olin. Ya, ia tahu siapa cowok itu. Rio, sepupu Kristin yang juga
bersekolah di tempat yang sama dengan mereka, namun beda kelas.
“Olin, kan? Ingat gue nggak? Waktu
pesta ulang tahun Kristin kita pernah ketemu.”
“Ya, gue inget. Lo Rio sepupunya
Kristin, kan? Kalo cari Kristin, dia lagi ke toilet. Tunggu aja sebentar,”
terang Olin.
“Nggak usah, gue nitip ini aja.
Kemarin pak pos ngantar ke alamat gue, soalnya Kristin pake alamat gue,” Rio
menyodorkan sebuah benda.
Tet … tet … tet … bel masuk meraung.
Setelah berterimakasih, Rio buru-buru pergi.
Biji mata Olin hampir lepas melihat
pengirim dokumen yang tak biasa. Majalah Anak Bibip. Karena rasa penasaran yang
merajai hati dan pikirannya, Olin pun membuka tanpa izin amplop cokelat tersebut.
Sebuah Majalah Bibip terbitan paling baru. Dibukanya lembar demi lembar. Kristina
Agustin dengan nama pena Peri Alpabet tercetak sebagai penulis cerpen anak
berjudul ‘Mau Mandi’ dan dongeng ‘Kurcaci Sepatu’. Jadi si tukang belanja itu
….
Note : Ilustrasi diambil dari beberapa sumber (gambar).
No comments:
Post a Comment