Sunday 14 February 2016

Dia Peri Alpabet

Olin menyeka peluh yang meleleh di atas alisnya, sesekali memijat tangan dan kakinya. Sebentar lagi akan ada kejuaraan taekwondo antar SMA dan Olin terpilih untuk mewakili sekolahnya. Jadi, latihan ekstra ia lakoni. Olin berjanji pada dirinya, akan melakukan yang terbaik agar hasil yang ia peroleh juga baik dan dapat mengharumkan nama sekolahnya. Olin menerawang ke depan. Rumah bercat hijau tosca di hadapannya sepi. Tiba-tiba ingatannya seperti terbang. Insiden itu kembali mengusik sisi otak Olin. Ya, pertengkaran dirinya dengan sang sahabat, Lia. Apa aku yang salah, ya? Apa aku harus minta maaf? Batin Olin bergejolak.
            “Huh, buat apa minta maaf! Dia saja yang nggak mau ngaku kalau dirinya itu Peri Alpabet. Sok polos! Apa sih, susahnya ngaku! Aku juga nggak akan minta apa-apa dari dia!” sontak kata-kata itu keluar dari bibirnya. Hening. Memintal-mintal ujung jilbab putihnya. Sejujurnya Olin masih bingung, harus percaya pada pengakuan Cecilia bahwa dirinya bukan Peri Alpabet atau percaya pada apa yang ia lihat di rumah Cecilia.
***
            Olin, si cewek jagoan taekwondo yang juga bercita-cita menjadi penulis cerpen anak. Aneh, kenapa harus cerpen anak? Simpel! Masa anak-anak menurut Olin adalah masa terindah. Hanya ada bermain dan bersenang-senang. Tanpa beban, bebas, jujur. Olin suka semua itu. Kembali ke rumah Cecilia. Suatu hari ketika Olin diundang sahabatnya, Cecilia, untuk ke rumah dalam rangka perayaan imlek, Olin setuju. Saat itu ia sedang gencar-gencarnya mencari tahu tentang Peri Alpabet, nama pena dari penulis cerpen anak yang ia kagumi. Dari sebuah cerpen anak, ia tahu bahwa Peri Alpabet itu bersekolah di tempat Olin dan satu kelas dengannya. Sayang, tak ada satu pun cerpen anak karyanya yang pernah Olin lihat memuat nama aslinya, semua cuma menuliskan nama pena.
            Ambisi Olin menemukan Peri Alpabet tambah membara, sampai ia melihat ada beberapa buah cerpen anak terbingkai manis di dinding rumah Cecilia. Dan kalian tahu penulisnya? Yups, Peri Alpabet! Kesimpulan Olin, Cecilia adalah Peri Alpabet dan buktinya sudah jelas, ia membingkai cerpen bukti terbit karyanya. Ditambah kesukaannya dengan film kartun, Olin yakin 1000 persen bahwa sahabatnya itu adalah penulis idolanya. Tapi … ketika ditanya langsung, Cecilia terus mengelak dan membantah. Sampai amarah Olin memuncak dan ia pergi begitu saja dari rumah Cecilia. Selanjutnya, sikap Olin jadi sedingin kutub utara dan selatan kepada Cecilia. Sahabat Olin yang lain, Kristin, sudah menasihatinya. Tetapi kepala batu karang itu tak bergeming. Lama kedua sahabat itu tak saling bertegur sapa. Cuma Kristin yang kebingungan harus berbuat apa pada kedua sahabatnya.
***
            Sore itu, Olin tengah bersantai di teras. Setelah membaca buku berjudul Sakitnya, Tuh, Jatuh dari Sepeda terbitan Kaifa dan puas wifian pakai modem Smartfren 4G Lte, Olin mengamati majalah anak di hadapannya. Bibirnya mengerucut. Sebentar-sebentar ia balik majalah itu. Ah, seperti tak ada penulis lain saja! Runtuknya. Kemudian ia melirik lagi ke halaman cerpen anak di majalah itu seraya mengamati nama yang tercetak di bawah judul karya fiksi itu. Helaan napas panjang. Lagi-lagi Peri Alpabet!
            “Beneran, Kris, gue bukan Peri Alpabet! Adik gue emang suka karya Peri Alpabet, makannya sampai dipajang dan dibingkai. suer ditimpa sumpit deh!” sayup-sayup Olin mendengar suara seseorang. Ada langkah kaki mendekat. Olin langsung beranjak dari duduk dan menyelinap ke ruang tamu.
            “Kalo gitu, coba lo jelaskan lagi ke Olin. Lo harus yakinin dia bahwa lo bukan Peri Alpabet. Kalau kalian begini terus, gue bisa migrain tiap hari tau nggak!” Kristin memijat-mijat kepalanya, berlagak pusing.
            “Ok … tapi jangan sekarang, ya. Gue bakal cari cara untuk meyakinkan dia. Janji!” Cecilia mengacungkan jari tengah dan telunjuknya.
            “Ya … ya, percaya! Mikirnya pake ekspres ya, jangan lama-lama, Lia.”
            “Iyaa … miss kantong segudang!” Cecilia pun menjawil dagu lancip Kristin dan berlalu.
            Kantong belanjaan penuh di tangan kanan dan kirinya. Kristin pun langsung masuk ke kamar Olin yang beberapa minggu ini ia tumpangi. Biasa, Ayah dan Ibu Kristin ada bisnis di luar kota. Karena itu Kristin memilih tinggal sementara di rumah Olin. Pertama, rumah Olin tak jauh dari sekolah dan alasan kedua, ia akan leluasa untuk menemui sahabat-sahabatnya. Kalau mau bertemu Cecilia tinggal menyeberang saja, sudah sampai. Saking banyak belanjaan Kristin, ia sampai tak hirau pada Olin yang ada di ruang tamu. Olin pun terngiang kata-kata Cecilia tadi. Kalau Cecilia bukan Peri Alpabet, maka ia bertekad untuk mencari tahu Peri Alpabet yang sebenarnya. Wajib tahu.
***
            “Maafin sikap gue, ya, Lia. Gue sekarang percaya kalo lo benar-benar bukan Peri Alpabet,” ucap Olin suatu ketika tepat jam istirahat pertama.
            Cecilia mencubit pipi tembamnya, “Ya, sobatku. Sekarang lebih baik lo pikirin kejuaraan taekwondo daripada pusing dengan Peri Alpabet yang nggak jelas itu.”
            “Kalau taekwondo, gue terus latihan serius, kok. Tapi … gue tetep pengen tahu si Peri Alpabet itu. Hampir tiap minggu ada karyanya yang muncul di media anak. Guee ….”
            “Iri? Atau Sirik?” timpal Kristin.
            “Dua-duanya!” Olin melotot.
            Sejak hari itu, mata Olin berubah jadi setajam silet. Ia benar-benar memperhatikan dan mencari tahu segala hal tentang semua teman sekelasnya. Berhari-hari Olin jadi detektif amatir dadakan. Dan ini beberapa catatan Olin. Pertama Boy, ketua kelas XI IPA 3 yang suka menulis, punya nama pena Dandelion Man. Teman lainnya tak ada yang hobi menulis dan menonjol di bidang jurnalistik. Cecilia sudah lepas pengawasan. Kristin? Apalagi sahabatnya itu. Hanya bisa menyisir rambut ikalnya, dandan, dan berbelanja. Olin termenung, bertopang dagu.
            “Mikirin apa, Lin?” Kristin langsung duduk di sisi kiri Olin.
            “Peri Alpabet,” balasnya singkat.
            “Ya, ampun, masih mikirin itu? Udah, lupain deh! Nih, es krim kesukaan lo,” Kristin menyodorkan es krim stroberi vanilla ke depan wajah Olin.
            Olin menampik,”Peri Alpabet itu penting, tau! Gue suka taekwondo dan nulis. Giliran taekwondo lancar, tulisan gue mampet! Gue mau keduanya seimbang. Jago taekwondo dan jenius nulis cerpen anak!” Olin menggebu, seolah ada bara api di matanya.
            “Ok … santai, sobat. Tulisan lo mampet mungkin karena lo kurang latihan nulis, atau kurang referensi bacaan. Coba lo inget-inget, ada berapa buku di rak lo. Kayaknya selain buku pelajaran, cuma ada 5 biji buku fiksi deh. Fiksi anak malah nggak ada hehe …. Gimana bisa jadi penulis cerpen anak yang handal kalo nggak punya banyak referensi bacaan anak-anak?” alis Kristin naik turun.
            Olin memerah, wajahnya seperti baru kena siram sambal tomat. Benar apa yang Kristin katakan. Aduh, malunya Olin. Kenapa juga ia membiarkan Kristin sekamar dengannya? Uhh … kan, masih ada kamar tamu. Membuat Kristin tahu semua kelemahan Olin saja.
            “Aduh, kebelet pipis, nih, mumpung belum bel masuk. Gue ke toilet dulu, ya,” Kristin langsung berlari secepat kilat.
            Selang beberapa menit, seseorang menghampiri Olin. Ya, ia tahu siapa cowok itu. Rio, sepupu Kristin yang juga bersekolah di tempat yang sama dengan mereka, namun beda kelas.
            “Olin, kan? Ingat gue nggak? Waktu pesta ulang tahun Kristin kita pernah ketemu.”
            “Ya, gue inget. Lo Rio sepupunya Kristin, kan? Kalo cari Kristin, dia lagi ke toilet. Tunggu aja sebentar,” terang Olin.
            “Nggak usah, gue nitip ini aja. Kemarin pak pos ngantar ke alamat gue, soalnya Kristin pake alamat gue,” Rio menyodorkan sebuah benda.
            Tet … tet … tet … bel masuk meraung. Setelah berterimakasih, Rio buru-buru pergi.
            Biji mata Olin hampir lepas melihat pengirim dokumen yang tak biasa. Majalah Anak Bibip. Karena rasa penasaran yang merajai hati dan pikirannya, Olin pun membuka tanpa izin amplop cokelat tersebut. Sebuah Majalah Bibip terbitan paling baru. Dibukanya lembar demi lembar. Kristina Agustin dengan nama pena Peri Alpabet tercetak sebagai penulis cerpen anak berjudul ‘Mau Mandi’ dan dongeng ‘Kurcaci Sepatu’. Jadi si tukang belanja itu ….

Note : Ilustrasi diambil dari beberapa sumber (gambar).
           
           

            

No comments:

Post a Comment